Cerpen Terbaik Bulan Bahasa 2022 – “Secarik Keindahan yang Tersimpan”

ilustrasi banyak karakter pada - cerpen bulan bahasa 2022

Cerpen Terbaik Pertama Bulan Bahasa 2022

Cerita Pendek (cerpen) berjudul Secarik Keindahan yang Tersimpan merupakan cerpen terbaik pertama lomba penulisan cerpen pada acara peringatan Bulan Bahasa 2022. Cerpen ini ditulis oleh siswi SMAIT Al Haraki, Nazira Athaya Syakieb dari kelas 12 IPA Al Jazari.


Secarik Keindahan yang Tersimpan

oleh Nazira Athaya Syakieb

Aku terdiam. Tubuhku membeku saat suara derap langkah kaki terdengar kembali. Aku menahan napasku, berusaha sebisa mungkin untuk membuat rumah ini tidak terlihat ditinggali. Entah bagaimana kabar suamiku saat ini. Entah juga bagaimana keadaan anak laki-laki dan perempuan kembarku saat ini. Yang aku dapat pikirkan saat ini hanya satu. Bagaimana cara untuk selamat?

Kalimantan Barat, 28 Juni 1944, saat dimana pembunuhan massal dilakukan. Hari ini adalah hari dimana semua feodal lokal, cendikiawan, ambtenar, tokoh masyarakat, politisi, tokoh agama, hingga rakyat jelata dibantai habis sampai tetes darah terakhir yang ada, sampai napas terakhir yang dihembuskan. Dan salah satu korban dari tragedi itu adalah aku. 

Aku bukan hanyalah seorang pribumi, tetapi juga istri dari seorang pejuang, ibu dari dua anak yang juga menjadi korban. Namun, takdir berucap bahwa waktuku disini telah habis. Peranku saat ini tak lagi tersedia. Kini aku bukanlah lagi seorang pribumi, istri seorang pejuang, maupun ibu dari dua anak kembar yang amat menggemaskan. Tapi, kini aku adalah seorang anak Sekolah Menengah Atas kelas dua yang bernama Shafia Amirah atau lebih sering dipanggil dengan sebutan…

“Fia!”

Mataku terbuka. Terlihat langit-langit kamar berwarna putih yang dihiasi beberapa kertas berbentuk bintang warna-warni. Aku pun mengubah posisiku yang tadinya berbaring menjadi duduk. Kutatap cermin di lemari yang berada dihadapanku. Terlihat seorang perempuan dengan wajah bersih berwarna sawo matang dengan iris mata hitam legam yang indah. 

Ini adalah kehidupanku saat ini, di masa ini, di tempat ini. Tepat setelah tentara Jepang menemukanku setelah mereka mendobrak pintu rumahku secara paksa dan merenggut nyawaku, aku terlahir kembali. 

Aku menghembuskan napas kasar dan menjawab panggilan dari arah luar kamar yang belum sempat kujawab.

“Iya, Bun, Fia segera bersiap untuk sekolah!”


“Kalian tahu reinkarnasi?” 

Aku yang sedang meminum jus alpukat di kantin sekolah pun menatap Shara, sahabatku, yang baru saja datang dan langsung melontarkan pertanyaannya. Aku pun menggeleng. Indira, Hania, dan Eliza yang juga adalah sahabatku ikut menggeleng. Shara pun duduk di kursi yang masih kosong dan mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap kami dengan serius.

“Reinkarnasi, sebuah peristiwa dimana seseorang terlahir kembali. Suatu kemungkinan yang dapat terjadi dimana seseorang dapat hidup kembali,” jelas Shara yang membuatku diam tak berkutik. Shara pun kembali duduk dengan tegak, membuat kami ikut mengembalikan posisi duduk kami seperti semula. Belum sempat kami mengucapkan apapun, Shara kembali melanjutkan perkataannya. 

“Itu hanyalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan bahwa seseorang bisa terlahir kembali. Jadi kalian boleh memercayainya atau tidak,” ujarnya santai. 

“Tapi apakah menurut kalian seseorang yang reinkarnasi dapat mengingat kehidupan mereka yang sebelumnya. Dan jika ada apakah itu akan menjadi penyesalan bagi mereka?” tanya Hania yang seketika menghentikan pergerakanku.

“Ada. Ada penyesalan yang bahkan membuatku ingin pergi kembali ke kehidupanku sebelumnya untuk memperbaiki semuanya. Ada penyesalan tentang mengapa aku kembali dihidupkan di tempat yang sama, yang bahasanya juga sama,” jawabku dalam hati. Belum sempat aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab, tiba-tiba Shara menjawab.

“Mungkin ada. Tapi kita tidak pernah tahu apakah penyesalan itu sementara ataukah akan bertahan selamanya, bukan? Aku yakin akan ada masa dimana mereka, yang terlahir kembali, akan sadar semua jawaban dari penyesalan mereka, semua alasan dari kehidupan mereka.”

Indira, Hania, Eliza, dan Shara pun mengganti pembahasan mereka. Dan kala itu juga, pikirku dan anganku masih ada pada jawaban Shara. Entah karena aku percaya akan hal itu ataukah karena aku takut jawaban dan alasan itu tidak akan datang padaku. Entahlah. Aku juga tidak tahu.


Tragedi Berdarah

“Hari ini kita akan membahas Tragedi Mandor Berdarah. Adakah yang sudah tahu sebelumnya apa itu Tragedi Mandor Berdarah?” 

Tubuhku mematung seketika kala Bu Viana, guru sejarah sekolah kami, bertanya di depan kelas. Tanganku ragu-ragu terangkat, membuat Bu Viana menatapku, menunjukku, dan berucap, “Ya, Fia?”

“Tragedi di Kalimantan Barat, 28 Juni 1944, saat dimana pembunuhan massal dilakukan. Hari dimana semua feodal lokal, cendikiawan, ambtenar, tokoh masyarakat, politisi, tokoh agama, hingga rakyat jelata dibantai habis oleh pihak Jepang. Saat itu tentara-tentara Jepang mendobrak pintu-pintu secara paksa dan menghabiskan para korban.” 

“Dan salah satu korbannya adalah aku,” ujarku dalam hati. 

“Benar, Fia. Tragedi ini adalah salah satu tragedi yang memakan banyak korban, banyak pribumi, serta tokoh-tokoh penting. Tragedi ini menunjukkan perjuangan bangsa kita yang ingin merdeka, menunjukkan segala perjuangan yang ada dan menggebu dalam dada.”

Aku terdiam sebentar kala mendengar ucapan Bu Viana. Rasanya jantungku berhenti berdetak. Dadaku sakit menahan sesak. Mataku terasa pedas. Air mataku hampir terjatuh melewati pipi. 

Seisi kelas menatapku bingung. Mungkin benak mereka bertanya mengapa aku menangis, mungkin juga bertanya mengapa aku tiba-tiba kembali tersenyum dan menghapus air mataku.

Terkadang aku bertanya. Kenapa aku hidup di masa ini? Kenapa aku dihidupkan kembali di negara yang sama? Kenapa ingatanku yang menyakitkan harus tetap kuingat? Namun, kini semua pertanyaan itu terjawab. 

Katanya Indonesia adalah negara yang indah. Dulu kupikir itu karena sumber daya alam atau keberagamannya. Namun, aku salah. Indahnya negara ini dapat juga dilihat dari perjuangannya. Setiap tetes darah, tetes air mata, dan hembusan napasnya yang berharga memberi warna pada negara ini. Membuat negara ini indah dengan warnanya yang unik dan tak dapat ditemukan di negara lainnya. 

Indonesia itu indah rupanya. Baik itu alamnya, keberagamannya, maupun perjuangannya. Aku bersyukur diriku ada dalam bagian dari perjuangan itu, yang kini dikenang, yang kini selalu direnungkan.


Selesai.


Terima kasih sudah membaca cerpen terbaik Bulan Bahasa 2022 dari karya Nazira Athaya Syakieb. Hasil karya siswa lainnya bisa dilihat di sini: Hasil Karya Siswa. Sementara hasil karya guru bisa dilihat di sini: Hasil Karya Guru. Silakan berlangganan di kanal Youtube SIT Al Haraki.