Cerpen Terbaik Bulan Bahasa 2022 – “Soka”

Ilustrasi perjalanan menyusuri hutan. Cerpen Terbaik Kedua Bulan Bahasa.

Cerpen Terbaik Kedua Bulan Bahasa 2022

Cerita Pendek (cerpen) berjudul Soka merupakan cerpen terbaik kedua lomba penulisan cerpen pada acara peringatan Bulan Bahasa 2022. Cerpen ini ditulis oleh siswi SMAIT Al Haraki, Nadeline Fatimah dari kelas 10 IPS Ibnu Al Kindi.


Soka

oleh Nadelin Fatimah

Lia menggebrak mejaku dengan setumpuk berkas yang bahkan lebih tebal dari rambut bosku, “Riki ambil cuti tiga hari, dia ke Pekalongan—kakaknya nikah,”

Aku melirik kearah notifikasi surel yang masih ratusan untuk dicek satu per satu. Lantas, beralih ke tempelan kertas kecil warna-warni berisi daftar tugasku yang baru memiliki tiga centang dari lima belas yang belum tercentang. Jika ditambah lagi dengan tumpukan berkas itu, aku tidak bisa menghitung lagi berapa banyak pekerjaan yang dihibahkan padaku dalam tenggat waktu sempit. Tak bisa pula menyalahkan Riki atas tugas-tugas pengecekan Curriculum Vitae para calon pegawai baru senyampang aku ini juga bagian HRD.

Kutarik senyum miris, menggeser atensiku kepada Lia. Camelia Siregar, si pemarah yang menjadi rekan sekaligus sahabatku dan sudah berada disisiku sejak kelas 12 SMA, sebuah pertemanan terbentuk dari aku yang tidak sengaja menumpahkan es teh di kantin lalu ia marah karena konon katanya itu membasahi sepatunya—padahal mengenainya saja tidak, tapi, yah, dia menjadi temanku satu-satunya. Sebelum aku mengatakan apapun, ia seakan membaca isi pikiranku. Perempuan itu mengedik bahu, “sorry, Ka. Aku juga mau bantu, sih. Tapi daftar tugasku sendiri pun udah sepanjang struk belanjaan grosir. Nanti kutraktir kopi, mau?”

Ah, aku tidak boleh mengeluh. Kalau aku menyerah, siapa lagi yang akan membiayai adik-adikku dan mencukupi orangtuaku? Bukankah Human Resource Development ini adalah bidang yang kuidamkan sejak SMA? Bukankah aku masih dalam proses menuju kesuksesan yang menjadi tujuanku? Tapi aku lelah. Aku ingin istirahat.


Jalanan yang tersendat membuatku semakin tertekan untuk memulai hari, terulang kembali rutinitas monotonku. Usai menerima sodoran kopi ukuran venti yang dijanjikan Lia kemarin, aku berjalan menuju meja kerjaku yang untungnya sudah kurapikan setelah lembur semalam. Aku merasa seperti karakter game yang tidak memiliki emosi, hanya bergerak mengikuti kemana arus kehidupan metro mengalirkanku. Aku ingin cepat-cepat keluar dari kondisi ini.

Aku sungguh berdoa untuk kelancaran hari ini, tepat usai aku melihat berita tiga hari yang lalu direka kembali di televisi berdebu yang ditaruh di pojok atas ruangan kantor. Dalam layar, terpampang wajah dan institusi sangat yang kukenal. Bosku, Pak Martinus, terbukti melakukan korupsi dan penggelapan dana seharga aset perusahaan—sebesar 95 miliar terhadap perusahaan tempat aku bekerja.

Aku tidak menyangka. Tak heran ia dengan mudah membeli sederet rumah di Menteng. Serius, Indonesia sulit sekali keluar dari permasalahan utamanya sejak zaman kolonial, yaitu praktik korupsi dan nepotisme. Para tikus berdasi selalu gagal menahan nafsunya jika disodori nominal uang. Muak sekali rasanya, Indonesia negara yang payah dalam urusan politik keuangannya. Semua warga sangat egois.

Selanjutnya, diputuskanlah aku akan membuka surel-surel terlebih dahulu, barulah setelah itu aku menyesap kopi dan mengecek CV. Semua berlangsung seperti yang seharusnya. Sampai aku tidak sadar surel ketiga yang kubuka saat ini adalah sebuah titik balik hidupku.

Teruntuk, Tn. Soka Tri Adhitya.

Bukan yang lumrah. Batinku sedikit merasa tak nyaman.

Isi dari seluruh surel jauh lebih dari dugaanku.

Seketika aku tak mampu lagi membuat gerakan apapun. Aku membaca ulang surel tersebut berulang kali, dan memastikan ini bukanlah sekadar khayalanku. Ternyata, tetap saja semua huruf tak ada yang berubah sesuai harapanku, tertulis mutlak bahwa kontrak kerjaku diputus oleh perusahaan, diakibatkan perusahaan bangkrut karena bosku sendiri. Ini sebuah kekacauan.


“HOAAM!” Demi Tuhan, ini kali kesebelasnya ia menguap dalam satu jam. Tak bisa kupungkiri pula, pendingin ruangan di kafe ini memang cocok untuk tidur. 

Mataku bergerak dinamis menelusuri tulisan demi tulisan di CV yang baru saja selesai kubuat apik kembali, mengabaikan Lia yang entah mungkin sudah tuntas. Iya, Lia turut menjadi korban PHK sepertiku, tapi baginya itu masalah yang enteng. Toh, dia bisa bekerja di perusahaan ayahnya. Dia adalah definisi dari anak tajir yang butuh pengalaman saja. Terkadang, aku iri. Omong-omong, aku perlu daftar riwayat hidup sesempurna mungkin, penentu kelanjutan hidupku—setidaknya dua bulan kedepan—berpacu pada satu halaman kertas ini. Mestinya ini menjadi hal yang tak menyulitkan bagiku, mengingat aku ini justru berada di bagian HRD sebelumnya.

“Eh, ya ampun, lupa bilang. Temenku yang ranger di gunung, nawarin kita buat hiking minggu depan.”

Berlibur mendaki? Di situasi aku sedang berada di ujung tebing kehidupan? Lia memang gila.

Ia melanjutkan, “kita disana dua hari aja, kok. Ayolah, Ka. Sesekali kita harus keluar dari kepenatan. Mungkin di alam, kita bisa lebih dapat ketenangan. Akomodasi, makanan, semuanya aku bayarin deh. Terus, aku juga bakal kirim uang buat biaya adikmu bulan ini. Ayolah. Setuju, setuju?”

Aku menimbang-nimbang. Punggung kuistirahatkan pada sandaran kursi seraya melipat tangan di dada. Bukan keputusan mudah, tentunya. Sebelum aku memberikan pendapatku, Lia menyambar.

“Di Rinjani mau nggak?” Lia menaruh dagu di atas punggung tangannya. Aku menoleh dengan posisi yang sama dengan Lia, tidak membuka se-inci pun mulutku, hanya mengangkat kedua alis. Gadis itu seperti memikirkan strategi perang tetapi tangan kanannya tetap bergerak melilit kwetiau dengan garpu, perilaku aneh karena harusnya dia menggunakan sumpit saja.

“Jangan,” gelengku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Merasa sedang dipertanyakan jawabannya, aku melanjutkan, “kejauhan banget itu.” Jari-jari tanganku tetap menggulir trackpad dan mengetikkan sesuatu. “Lagian, track-nya lebih mudah di Merbabu.”

“Tapi Rinjani lebih menantang dan lebih bagus pemandangannya.”

“Atau Semeru? Pengibaran bendera di atas awan,” timpalku, matanya seolah ia sedang memproyeksikan perkataan barusan di dalam pikiran. “Eh, temenmu ranger di gunung mana?”

“Di Merbabu sih, hehe. Katanya kalau berangkat bulan ini, kita bisa lihat pemandangan gunung Merapi yang jelas dari puncak Merbabu. Keren banget.”

Argumen Lia membuatku terbisu beberapa detik. Lantas, aku mengangguk disusul oleh Lia yang berucap, “oke, Merbabu. Aku koordinasikan ke temenku ya.”

“Yaudah, deh. Aku ikut. Aku pesankan tiket kendaraan pulang-pergi Boyolali, dan kamu—“ Aku mendongakkan kepala menatap Lia, “—bilang temenmu tolong sekalian reservasikan kita.” Ia mengangguk kecil, dan merogoh ponsel dari kantung sweternya.


Jangan mengambil apapun kecuali gambar,

Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak,

Jangan membakar apapun kecuali semangat

Pukul enam sore, di basecamp jalur pendakian Selo, bertenggerlah enam insan. Perdebatan lewat jalur Cunthelan atau jalur Suwanting membuahkan keputusan untuk ambil jalur Selo, sederhananya karena sebagian dari mereka adalah pemula dan jalur inipun menjadi pintas untuk capai puncak.

Saat ini, mereka sedang menunggu pendaki asal Surabaya yang sedang izin sejenak menghaturkan doa di Vihara dekat situ. “Kita berangkat jam setengah sembilan malam,” simpul Lia—ia mendadak jadi ketua kelompok pendakian kami, menghargai kepentingannya. Sementara itu, yang lain menggunakan waktunya untuk tidur.

Tepat seperti yang Camelia utarakan, mereka berdiri berjejeran di depan gerbang Jalur Pendakian Selo pada jam tersebut. Dengan raga segar dan siap, beban tas carrier pun sudah melekat di pundak masing-masing. Rombongan lain dari kedua komunitas semuanya sudah berangkat sejak pukul delapan.

Perjalanan awal masih landai. Juga, terasa menyenangkan dan cukup beringar-bingar. Tergambar dari gelak tawa Azka, guyonan tanpa henti oleh Riza, hingga senandungan Luna. Lia yang biasanya ribut mengomeli pun ikut bersenang ria. Tanpa sadar, dari basecamp ke Pos 1 kemudian ke Pos 2 memakan waktu lebih awal dari estimasi, mungkin ayunan kaki penuh antusias menjadi penyebab utamanya.

Rembulan bersinar lumayan terang di sela-sela julangnya pohon pinus. Mereka tiba di Pos 2, terpaksa melanggar arahan Denis, teman dari Lia, yang mana sebaiknya tidak berhenti di Pos 2 karena mereka terlalu letih setelah berjalan 3 jam walaupun tetap ada break singkat di tengah jalan.

“—Hanya sugesti di kalangan pendaki sih,” katanya.

Selepas 10 menit berselang berada di Pos 2, enam orang itu beranjak. Pos 2 menuju ke sabana memiliki track yang agak sulit bahkan bagi orang yang tidak awam sekalipun. Jay, anggota kelompok yang paling well-prepared, mewanti-wanti dari belakang agar interval jarak tidak lebih dari 4 meter, sebab sudah masuk ke hutan pinus nan gelap sampai-sampai jarak pandang sebatas 5-6 meter saja.

Semua fokus menyimak punggung rekan di depan agar tak salah jalur. Sama halnya dengan Jay yang berada di paling belakang, hingga secercah cahaya senter yang seperti sengaja di ayunkan kearah atas sedikit mengalihkan atensinya. Ia membelok ke kanan—keluar dari jalur, mencari asal-muasal cahaya tersebut. Jay semakin yakin ada pendaki lain yang butuh bantuan sesudah terdengarnya suara manusia secara samar.

“Jay! Jangan memisah—“

Aku yang berada di depan Jay menyadari membeloknya bias cahaya dari senter pria itu. Aku mengikuti jejak Jay yang masuk ke sela-sela pohon rimbun.

“Tolong…” Suara seorang laki-laki terdengar lemas.

“Soka? Ugh!—“ Jay melirik sedikit sedangkan posisinya masih berusaha menarik seseorang dari sebuah lubang, “tolongin gue!”

Dengan susah payah, mereka berdua menarik laki-laki malang tersebut. Diraihnya lengan remaja itu oleh Jay, “Astaga, ini udah tertinggal berapa lama? Pucat dan dingin banget kulitnya!” Untungnya berhasil keluar, berkat tali yang dibawa Jay juga.

“Kamu dari komunitas apa? Kami dari komunitas Ex. Lo mampu melanjutkan nggak?” tanyaku, meredam pertanyaan Jay barusan.

Ia meringis kecil, “komunitas Ve..” Giginya bergemelatuk kedinginan ketika berbicara, wajar, tengah malam begini tubuh rasa membeku—tak terkecuali Jay dan aku. Kaki kirinya terus dipegangi, kemungkinan besar itu terkilir.

“SOKA? JAY? KALIAN DIMANA?” teriak Lia, suaranya mendekat.

“LIA! SEBELAH SINI!” sahutku.

Lia menyeruak melewati semak. Lia terkejut sekali melihat pendaki bercemong tanah terkapar, ada aku dan Jay di sampingnya. “Ini kenapa?” 

“Dia nggak mampu lanjut sendirian, tapi kita sudah lebih dekat ke puncak!” tutur Jay khawatir, berusaha membantu memegangi Sean. Dibalas, “Sean bisa kok! Sean bakal lanjut ke puncak!” Laki-laki itu berdiri berusaha menunjukkan kebisaannya, sayangnya setelah 3 langkah, ia kembali terjatuh.

“Sekarang udah jam empat pagi dan kita masih di sabana, kita harus sampai di Kenteng Songo sebelum jam 05.30. Waktu berjalan cepat loh—aduh!” Lia, dalam kegelapan bermodal senter ia tampaknya agak kesulitan melewati semak tersebut

“Lia? Maksudmu apa? Lalu, kita tinggalkan dia sendirian tengah hutan dalam keadaan begini? Gimanapun, dia mesti ikut sampai puncak, jangan mentingin diri sendiri! Kamu ketua, kamu harus peduli atas siapapun.” Aku menyela, alisku berkerut marah. Apa-apaan maksudnya? Ini bukan sisi Lia yang biasa kulihat. Aku dengan cepat bangkit dari posisi jongkok sehingga menghadap Lia.

Jay bersamaan denganku mengangkat sebelah alis, memandang mereka bertiga bergantian. “Aku nggak mengedepankan diri sendiri. Kalian yang aneh, tujuan kita nggak akan tercapai kalau kalian begini. Nggak jelas. Bukannya kita lagi ngejar waktu?” Tangan Lia terkepal kuat.

Bukankah baru kusebutkan kemarin bahwa warga Indonesia sangat egois dan individualis? Dia adalah contoh nyatanya.

“Apa sih, kita semua punya visi dan ambisi yang sama! Ngapain kamu nyebut sila-sila Pancasila setiap upacara Senin sementara kamu sendiri nggak menerapkan maknanya? Tercapai atau tidak, nggak bakal ada artinya kalau egois lebih tinggi daripada solidaritas!” Kutegur keduanya dengan tegas.

Hening.

Berbaliklah aku beserta Jay dari posisi dengan angkuh usai dibentak oleh rekanku itu—diikuti oleh Riza yang masih kelinglungan. Lia memandang jengkel punggung mereka, kemudian menggeser kembali dagunya menghadap Sean disertai senyuman. “Jangan dipikirin, aku juga nggak menyangka dia akan mengatakan hal semacam itu. Memang kelewatan. Kita pasti bisa. Yuk, pergi sekarang.”


13 Maret 2016, 05.46

“Soka, lihat! Itu Merapi!”

Langkah kakiku dan Lia sudah sangat berat. Kami berlari kecil—atau menyeret kaki mereka menuju siluet puluhan orang tersebut berada. Mengejar Luna yang memanggil-manggil dari atas sana. Riza mengeluarkan bendera merah-putih dari tas dan memberikannya kepada Jay.

Prk!

Semua jadi terasa sebanding sekarang. Impian mereka untuk melihat keindahan Merapi dari puncak Merbabu saat matahari terbit tercapai, sekaligus menepis perkataan Lia. Aku, Jay dan Riza tak dapat mendeskripsikan euforianya. Hembusan napas mereka yang masih tak terkontrol dan keringat yang bercucuran menjadi bukti pemaknaan solidaritas mendalam.

Ah, rupanya perkataanku tentang egoisme dan individualis itu salah.

Gunung Merapi tampak sangat gagah tepat didepan indera penglihatanku. Awan-awan yang terlihat lebih rendah dari puncaknya tampak seperti paying putih yang begitu anggun. Keindahan alam Indonesia benar-benar luar biasa. 

Kutengok sedikit. Sean berdiri 3 meter di belakang, tersenyum lebar sambil memegang benderanya. Sean mengalihkan senyumnya kearah mereka bertiga, lalu mengangguk seolah mengucap terima kasih.

“Kamu ini senyum ke siapa sih? Dari tadi kalian aneh banget, sungguhan,” Lia menghampiri dari arah sebaliknya, berulang kali turut melihat ke arah tempat Sean semestinya berada. Air mukanya menggambarkan penasaran. Emosi dia mulai mereda sejak melihat pemandangan tadi. Membuyarkan atensi mereka terhadap Sean.

Mereka menoleh secara kompak. “Pendaki yang terperosok tadi, si Sean.”

“Mana? Nggak ada tuh?”

“Itu— LOH KEMANA?”

“Siapa tadi namanya? Sean?”

“Iya, Sean. Aduh kemana pula orang itu.”

“Sean? Terperosok?” ulang Luna yang diangguki oleh bertiga, ia menggigit bibir bawahnya sedikit. Yang disekitarnya turut menanti lanjutan kalimat gantung tersebut. “Tapi—aku dengar dari pendaki yang tadi istirahat di gubuk kumpul, ada anggota pendaki bernama Sean dari Komunitas Ve meninggal pas proses pendakian tiga bulan yang lalu dan sampai sekarang belum ditemukan.”


Selesai.


Terima kasih sudah membaca cerpen terbaik Bulan Bahasa 2022 dari karya Nadeline Fatimah. Hasil karya siswa lainnya bisa dilihat di sini: Hasil Karya Siswa. Sementara hasil karya guru bisa dilihat di sini: Hasil Karya Guru. Silakan berlangganan di kanal Youtube SIT Al Haraki.